Beberapa waktu yang lalu dan belakangan ini media sosial ramai memperdebatkan tentang
peranan Apoteker dan Dokter beserta sinergitas diantara keduanya. Hingga ada
seorang pemimpin sebuah propinsi di Indonesia sempat mengeluarkan pernyataan
kontroversial entah diplintir oleh media ataupun berlebihan saat memuatnya di
beberapa media cetak dan elektronik.
Salah
satu pernyataannya adalah “dokter jangan sok jadi Apoteker”. Hal ini membuat
redaksi AKU mendatangi seorang alumni FK-UMM yang dahulunya bekerja di
Departemen Onkologi Rumah Sakit dr. Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan untuk
mendengarkan pendapat beliau. Seperti yang sudah kami tebak sebelumnya beliau
hanya tersenyum sedikit mendengar pendapat kontroversial tersebut. Beliau
menyatakan bahwa segala keputusan berkaitan dengan medis hendaknya juga diatur
oleh yang berkompeten di bidangnya sehingga tidak timbul salah persepsi
diantara masyarakat. Disana kami mendapatkan argumen dari beliau berupa tugas
dan peranan Apoteker bersinergi dengan dokter.
“Yah itu
sebenarnya justru membuat hubungan Apoteker dan dokter yang sudah harmonis
menjadi sedikit terganggu, sebenarnya kita sejajar yakni Apoteker dan dokter
karena di ranah masing-masing, misalnya saja dalam hal penanganan kemoterapi
tidak serta merta dokter yang meracik obat kemoterapi sendiri karena sangat
berbahaya, begitu pula sebaliknya resep obat kemoterapi tidak mungkin
didiagnosis penyakit tersebut oleh Apoteker karena sama berbahayanya”. Jelas
dokter yang bernama lengkap dr. Nurrobbi Kunsantri ini sambil tersenyum. Beliau
kemudian menjelaskan dengan contoh yaitu salah satu obat kemoterapi.
“Saya
beri contoh ini adalah tugas Apoteker
high class, beliau menyiapkan obat kemoterapi dari dokter bedah onkologi
berupa yang paling mudah saja ini contohnya Gemsitabin,
bagaimana mekanisme pengolahan obat dan peracikannya serahkan pada Apoteker
begini sediaannya obat ini tersedia dalam bentuk larutan infus 1-1,2 g/m2. Nah coba
gimana bikinnya kalau bukan apoteker ? antum (anda) bisa ? atau yang lebih
mudah lagi Cyclophosphamide hayo apa
antum sebagai dokter bisa ?
“Begitu juga
dengan indikasi pemberiaannya ? indikasinya adalah Ca Paru, Ca cerviks, nah
obat-obat sitostatika tersebut juga indikasi pemberiaan beserta dosisnya adalah ahli onkologi
berupa dokter bedah onkologi, dokter konsultan obsetri, dan juga ahli
hematologi, nah apa itu tugas Apoteker yang melakukannya ?, kan tidak juga". jelasnya.
“Begitu
juga dengan perawat khusus kemoterapi
yang tugasnya tidak juga bisa digantikan oleh apoteker dan dokter, mereka yang
lebih paham saat pemberian obat-obatan sitostatika tersebut karena berada di
ruangan yang melakukan observasi meliputi tanda-tanda vital dan menenangkan
pasien saat pemberian obat-obatan tersebut”. Nah mengenai perawat tersebut ada
juga kriterianya apa saja yuk ? ini dia …
“Petugas atau perawat yang diizinkan untuk memberikan obat sitostatika adalah mereka yang sudah mendapat pendidikan tentang cara menangani obat sitostatika, tahu kemungkinan resiko yang terjadi akibat obat sitostatika, cara penatalaksanaan alat-alat yang terkontaminasi, juga tahu pencegahan paparan terhadap perawat”. Belum selesai ? ini adalah larangan atau peringatan pada petugas yang tidak diizinkan untuk memberikan obat sitostatika. Apa saja ? yang pertama wanita hamil dan menyusui, perawat yang tidak memakai pelindung, juga mahasiswa perawat yang sedang praktek, itu tidak boleh, antum bisa ?”
Mendengar penjelasan tersebut kami manggut-manggut dan mulai makin memahami peran serta masing-masing tenaga medis sehingga seluruh komponen berperan serta di bidangnya tanpa terpengaruh aspek-aspek yang dapat merusak keharmonisan hubungan antar tenaga kesehatan demi terciptanya pengobatan yang terbaik bagi pasien. (dkn)
“Petugas atau perawat yang diizinkan untuk memberikan obat sitostatika adalah mereka yang sudah mendapat pendidikan tentang cara menangani obat sitostatika, tahu kemungkinan resiko yang terjadi akibat obat sitostatika, cara penatalaksanaan alat-alat yang terkontaminasi, juga tahu pencegahan paparan terhadap perawat”. Belum selesai ? ini adalah larangan atau peringatan pada petugas yang tidak diizinkan untuk memberikan obat sitostatika. Apa saja ? yang pertama wanita hamil dan menyusui, perawat yang tidak memakai pelindung, juga mahasiswa perawat yang sedang praktek, itu tidak boleh, antum bisa ?”
Mendengar penjelasan tersebut kami manggut-manggut dan mulai makin memahami peran serta masing-masing tenaga medis sehingga seluruh komponen berperan serta di bidangnya tanpa terpengaruh aspek-aspek yang dapat merusak keharmonisan hubungan antar tenaga kesehatan demi terciptanya pengobatan yang terbaik bagi pasien. (dkn)
Baca Juga :
- Ini Pesan Presiden AKU Pasca Pertemuan Munas FIAKSI
- Delegasi Kerajaan AKU untuk FIAKSI merapat di STOVIA
- Para Alumni dan Mahasiswa Larut dalam Modisco
- Gaji Dibawah Standar, dokter se-Malang Raya Tuntut Keadilan
- Sejajar Spesialis, dokter Layanan Primer akan bergelar Sp.FM
Share This Article
0 komentar:
Posting Komentar